Senin, 29 Juli 2013


Bangkinang adalah ibu kota Kabupaten Kampar, Riau yang berjarak 60 km dari Pekanbaru (ibu kota provinsi Riau). Sebagai ibu kota kabupaten yang berdekatan dengan ibu kota provinsi dan menjadi daerah penghubung menuju Sumatera Barat. Mayoritas penduduk Bangkinang beragama Islam. Daerah ini awalnya merupakan bagian dari Sumatera Barat, namun setelah penjajahan Jepang, dengan pembagian distrik yang ditentukan oleh Jepang, maka Bangkinang dipindahkan ke dalam Provinsi Riau bersama Kabupaten Kuantan Singingi dan Rokan Hulu.

Adapun salah satu rumah adat di Bangkinang adalah rumah Lontiok.

Rumah Lontiok sendiri berasal dari bahasa daerah kampar timur, yaitu kalau diartikan kedalam bahasa indonesia adalah rumah lengkung / bengkok. Lontiok memiliki bentuk melengkung ke atas yang memiliki  simbol untuk menghormati Tuhan / Allah. Rumah Lontiok memiliki keunikan bentuk, serta memiliki nilai-nilai  simbolik yang terkandung pada rumah tradisional Lontiok. Pengolahan material, pilihan bentuk, penggunaan ragam hias dan maknanya diduga berhubungan erat dengan nilai adat serta nilai sosial masyarakat Kampar.



·         Fungsi Rumah Lontiok


Rumah lontiok sendiri biasanya dipergunakan masyarakat untuk berkumpul atau bermusyawarah besar dengan melibatkan ninik mamak tokoh pemuda kampung Pulau Belimbing ini sendiri. Tempat ini juga merupakan sebuah warisan budaya, cagar wisata yang sangat berpotensi dalam mendatangkan wisatawan baik lokal maupun mancanegara.


            Rumah Lontiok merupakan Rumah panggung. Tipe konstruksi panggung dipilih untuk menghindari bahaya serangan binatang buas dan terjangan banjir. Di samping itu, ada kebiasaan masyarakat untuk menggunakan kolong rumah sebagai kandang ternak, wadah penyimpanan perahu, tempat bertukang, tempat anak-anak bermain, dan gudang kayu, sebagai persiapan menyambut bulan puasa.

Rumah Lontiok dengan Lumbung Padi di depannya

Selain itu, pembangunan Rumah berbentuk panggung sehingga untuk memasukinya harus menggunakan tangga yang mempunyai anak tangga berjumlah ganjil, lima, merupakan bentuk ekspresi keyakinan masyarakat.

Rumah Lontiok (uma lontiok) adalah salah satu Rumah Adat Daerah Riau, Indonesia yang terdapat di Kabupaten Kampar. Rumah Lontiok yang dapat juga disebut Rumah Lancang, dan Rumah Pencalang karena rumah ini bentuk atapnya melengkung keatas, agak runcing. Sedangkan dindingnya miring keluar dengan hiasan kaki dinding mirip perahu atau lancang. Hal itu melambangkan penghormatan kepada Tuhan dan-sesama. Rumah Adat Lontiok biasanya mempunyai anak tangga rumah hitungan ganjil. Bentuk dinding Rumah yang miring keluar seperti miringnya dinding perahu layar mereka, dan jika dilihat dari jauh bentuk Rumah tersebut seperti Rumah-Rumah perahu (magon) yang biasa dibuat penduduk. Sedangkan nama Lontiok dipakai karena bentuk perabung (bubungan) atapnya melentik ke atas.

Rumah Lontiok merupakan Rumah panggung. Tipe konstruksi panggung dipilih untuk menghindari bahaya serangan binatang buas dan terjangan banjir. Di samping itu, ada kebiasaan masyarakat untuk menggunakan kolong rumah sebagai kandang ternak, wadah penyimpanan perahu, tempat bertukang, tempat anak-anak bermain, dan gudang kayu, sebagai persiapan menyambut bulan puasa. Selain itu, pembangunan Rumah berbentuk panggung sehingga untuk memasukinya harus menggunakan tangga yang mempunyai anak tangga berjumlah ganjil, lima, merupakan bentuk ekspresi keyakinan masyarakat.
·         Bentuk Ukiran Rumah Lontiok
Dinding luar Rumah Lontiok seluruhnya miring keluar, berbeda dengan dinding dalam yang tegak lurus. Balok tumpuan dinding luar depan melengkung ke atas, dan, terkadang, disambung dengan ukiran pada sudut-sudut dinding, maka terlihat seperti bentuk perahu. Balok tutup atas dinding juga melengkung meskipun tidak semelengkung balok tumpuan. Lengkungannya mengikuti lengkung sisi bawah bidang atap. Kedua ujung perabung diberi hiasan yang disebut sulo bayung. Sedangkan sayok lalangan merupakan ornamen pada keempat sudut cucuran atap. Bentuk hiasan beragam, ada yang menyerupai bulan sabit, tanduk kerbau, taji dan sebagainya.

Dasar dan dinding Rumah yang berbentuk seperti perahu merupakan ciri khas masyarakat Kampar, sedangkan bentuk atap lentik (Lontiok) merupakan ciri khas arsitektur Minangkabau. Proses akulturasi arsitektur terjadi karena daerah Kampar merupakan alur pelayaran, Sungai Mahat, dari Lima Koto menuju wilayah Tanah Datar di Payakumbuh, Minangkabau. Daerah Lima Koto mencakup Kampung Rumbio, Kampar, Air, Tiris, Bangkinang, Salo, dan Kuok. Oleh karena Kampar merupakan bagian dari alur mobilitas masyarakat, maka proses akulturasi merupakan hal yang sangat mungkin terjadi. Hasil dari proses akulturasi tersebut nampak dari keunikan Rumah Lancang yang sedikit banyak berbeda dengan arsitektur bangunan di daerah Riau Daratan dan Riau Kepulauan.

Dinding luar Rumah Lontiok seluruhnya miring keluar, berbeda dengan dinding dalam yang tegak lurus. Balok tumpuan dinding luar depan melengkung ke atas, dan, terkadang, disambung dengan ukiran pada sudut-sudut dinding, maka terlihat seperti bentuk perahu. Balok tutup atas dinding juga melengkung meskipun tidak semelengkung balok tumpuan. Lengkungannya mengikuti lengkung sisi bawah bidang atap. Kedua ujung perabung diberi hiasan yang disebut sulo bayung. Sedangkan sayok lalangan merupakan ornamen pada keempat sudut cucuran atap. Bentuk hiasan beragam, ada yang menyerupai bulan sabit, tanduk kerbau, taji dan sebagainya.
Dasar dan dinding Rumah yang berbentuk seperti perahu merupakan ciri khas masyarakat Kampar, sedangkan bentuk atap lentik (Lontiok) merupakan ciri khas arsitektur Minangkabau. Proses akulturasi arsitektur terjadi karena daerah Kampar merupakan alur pelayaran, Sungai Mahat, dari Lima Koto menuju wilayah Tanah Datar di Payakumbuh, Minangkabau. Daerah Lima Koto mencakup Kampung , Kampar, Air, Tiris, Bangkinang, Salo, dan Kuok. Oleh karena Kampar merupakan bagian dari alur mobilitas masyarakat, maka proses akulturasi merupakan hal yang sangat mungkin terjadi. Hasil dari proses akulturasi tersebut nampak dari keunikan Rumah Lancang yang sedikit banyak berbeda dengan arsitektur bangunan di daerah Riau Daratan dan Riau Kepulauan.

Pada masanya, Rumah Lontiok hanya dibangun oleh orang kaya atau datuk (kepala suku), sementara masyarakat biasa menggunakan Rumah Tiang Tinggi sebagai tempat tinggal. Bagi orang kaya, Rumah Lontiok adalah sebuah kebanggaan dan simbol status dalam masyarakat. Karena itu kepemilikan Rumah Lontiok bersifat terbatas, rumah ini dianggap sakral oleh masyrakatnya.
Arsitektur tradisional daerah Kampar mengandung berbagai nilai budaya yang khas yang tercermin dari awal proses pembangunannya sampai selesai. Dalam bangunan tersebut terkandung makna dan filosofi yang amat dalam kaitannya dengan pembentukan watak dan sikap hidup  masyarakatnya.
Struktur bangunan Rumah Lontiok memiliki makna yang kesemuanya berkaitan dengan sistem kekrabatan dalam masyarakat. Ia melambangkan hubungan antar individu, antara orang tua dan , anak dan anggota masyrakat lainnya. Selain itu struktur rumah adat ini melambangkan kebesaran sang pencipta.